Tindakan
malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang professional.
Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan
lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan
diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau
gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.Di beberapa negara maju seperti United
Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktik medik juga banyak
terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara Amerika
Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali
lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus
meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan
negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap
dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus
kelalaian medik –atau bahasa awamnya malpraktek– yang terbukti dilakukan dokter
di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui
sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin
prakteknya dicabut sementara.
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan
dugaan malpraktik ke konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183
kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus
dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman
kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di seluruh
Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan
dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan
dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan.
Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang.
Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus
malpraktek. “Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan
itu kurang dipraktekn atau terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau
penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam
bidang tertentu. Di samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga
ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di
antaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien,
serta masalah kompetensi dokter.
Malpraktek dan Pertanggungjawaban
Hukumnya
Dunia kedokteran yang dahulu seakan
tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja
sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan
pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran
hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut
diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga
masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum
yang seadil adilnya.
Membiarkan persoalan ini
berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada
akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari
oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan
lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai
pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad
berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode
etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas
antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap
pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul
diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh
dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya
mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali
pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan
ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak
menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien.
Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak
memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota
keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan
dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan
sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya
sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi)
kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak
boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih
cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan
operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan
dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan
ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun
bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai
ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum.
Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup
untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi
adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama
adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh
hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka
menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana
tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan
bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam
menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika
dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah
medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja
yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan
teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan
jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah
dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan
problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru
dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu
diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan
diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi setelah
mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama
terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan
antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian
sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur
bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan
kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian
sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak
luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya
bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit,
termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan
individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam
hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat
berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi,
melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan
tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya
maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat
memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun
pemulihan kesehatannya. Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan
harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien,
adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan
dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi
peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian
yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek
Jenis Malpraktek
Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik
adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.
Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa
malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi
kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih
akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek
samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negatif
dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
a.
Kontak atau komunikasi antara dokter
dengan pasien semakin berkurang
b.
Etika kedokteran terkontaminasi
dengan kepentingan bisnis.
c.
Harga pelayanan medis semakin
tinggi, dsb.
Contoh konkrit
penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini
antara lain :
Dibidang
diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien
kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun
karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter
yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang
terapi
Berbagai
perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan
yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang
juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada
pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek
etik.
·
Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko
membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
Malpraktek Perdata (Civil Malpractice
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi
terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada
pasien.
Adapun
isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
a.
Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan.
b.
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
c.
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan
hasilnya.
d.
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Sedangkan untuk
perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat
seperti :
a.
Harus ada perbuatan (baik berbuat
naupun tidak berbuat)
b.
Perbuatan tersebut melanggar hukum
(baik tertulis maupuntidak tertulis)
c.
Ada kerugian
d.
Ada hubungan sebab akibat (hukum
kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
e.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk
dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka
pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
a.
Adanya suatu kewajiban dokter
terhadap pasien.
b.
Dokter telah melanggar standar
pelayanan medik yang lazim.
c.
Penggugat (pasien) telah menderita
kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d.
Secara faktual kerugian itu
disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun
adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter.
Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah
berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal
dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul
komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam
hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada
dirinya.
Malpraktek
Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat
dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau
cacat tersebut.
Malpraktek
pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi
medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
Malpraktek
pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak
sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai
persetujuan tindakan medis.
Malpraktek
pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya
terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam
rongga tubuh pasien.
Malpraktek
Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila
dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa
lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung
jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk
memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas
ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga
berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi
pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena
itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai
berikut :
a.
Adanya kemampuan bertanggung jawab
pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
b.
Adanya hubungan batin antara
petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa).
c.
Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak
menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van
Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan
yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter
terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh
pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin.
Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai
penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut,
dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien
yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan
sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter
operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak
menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial
(infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi
tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau
kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan
yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi
karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan
perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari
petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa
kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang
larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek
dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga
kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya
berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah
satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para
dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam
menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.
Keterkaitan antara berbagai kaidah
yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum
yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau
hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini
tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran.
Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum
Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum
Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula
diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World
Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum
kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian
dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari
medic law.
Sejak World Congress ke VI pada
bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas
prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini,
Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada
persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum
Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia,
malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek
yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal
dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus
guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik
yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil
oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian
dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan
system kesehatan nasional.
Untuk penanganan bukti-bukti hukum
tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan
masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai
anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut
ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin
ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan
keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui
hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia
(SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau
tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur
hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan
pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU
No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah
ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari
unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang
kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan
MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,
karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada
sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman
sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK
dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan
pasien.
Sumber :
·
http://dokteranakonline.com/2013/12/01/masalah-maplptrakter-terheboh-di-duniia/
·
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggungjawaban-hukumnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar